Rabu, 23 April 2008

Biofuel Picu Krisis Pangan

Artikel berikut saya ambil dari Jawa Pos, 22 April 2008. Saya posting disini dengan maksud supaya dapat memberi pemikiran yang berbeda buat kita terkait dengan isu global warming dan krisis pangan.

Antisipasi krisis energi dengan mencari sumber bahan bakar alternatif justru semakin mengancam persediaan pangan dunia. Sebab, sebagian bahan pangan lantas dialokasikan untuk memproduksi biofuel. Akibatnya harga bahan panagn kian melambung.

Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) mengimbau negara-negara berkembang lebih mengamankan cadangan bahan makanan bagi kebutuhan pangan daripada biofuel. “Sudah saatnya negara-negara di seluruh dunia meninjau kembali kebijakan mereka soal biofuel. Apalagi, sampai sekarang belum jelas seberapa ramah biofuel terhadap lingkungan,” ujar Managing Director ADB Rajat Nag dalam wawancara dengan The Associated Press kemarin (21/4).

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa produksi masal biofuel justru menghancurkan hutan serta lahan pertanian. Karena tidak lagi tersedia cukup lahan untuk tanaman pangan di hampir seluruh negara, kebutuhan pangan makin menipis. “Karena itu, kami mengimbau pemerintah negara-negara berkembang untuk benar-benar memikirkan kembali kebijakan tentang subsidi biofuel. Sebab, subsidi itu sama saja dengan membebankan pajak semu terhadap makanan pokok,” lanjut Nag.

Menurut dia, pemerintah di beberapa negara membatasi produksi pangan dengan menyarankan petani menanam bahan biofuel. Tanpa menyebut negara itu, dia membeber bahwa produsen ethanol terbesar dunia (Amerika Serikat) menyebabkan harga jagung dan biji-bijian lain melambung. Sebab di negara adidaya itu, ethanol dihasilkan dari jagung dan gandum. Kabarnya, AS memberikan subsidi kepada petani yang bersedia menanam jagung dan gandum untuk produksi ethanol.

“Kami yakin, membiarkan petani menentukan sendiri tanaman yang mereka budidayakan akan lebih bijaksana,” ujar Nag. Yang terpenting, pilihan jenis tanaman tersebut lebih didasarkan pertimbangan harga, baik relatif maupun internasional, bukan bergantung pada besaran subsidi.

Belakangan, harga pangan yang terus melambung akibat kenaikan harga bahan bakar mengerek ongkos produksi dan transportasi. Protes dan konflik internal pun tak bisa dihindari. Beberapa pekan terakhir, krisis pangan telah memicu kerusuhan di Karibia dan beberapa negara Afrika serta Asia.

Bertolak dari fenomena tersebut, Nag bakal menjadikan krisis akibat kenaikan harga bahan pangan sebagai agenda utama pertemuan tahunan ADB di Madrid, Spanyol, pekan depan. Dia juga mengimbau pemerintah tidak mengatasi menipisnya cadangan pangan dengan menetapkan harga atau melarang ekspor. Kebijakan itu justru kontraproduktif. “Mengendalikan harga pangan hanya akan membuat petani mengurangi kapasitas produksi. Kita tidak inginkan itu.”

Tidak ada komentar: