Minggu, 13 April 2008

Bali dan Ajeg Bali

Tulisan ini kutulis karena terinspirasi setelah membaca sebuah postingan seorang kawan yang ditulis dalam blognya. Tergelitik juga untuk mencoba menggali pemikiranku yang masih dangkal ini mengenai ajeg bali. Frase ini dalam beberapa waktu belakangan menjadi jargon yang senantiasa didengung-dengungkan berbagai kalangan menyikapi kondisi Bali beberapa dasawarsa terakhir. Menjadi suatu kekhawatiran berbagai khalayak melihat kondisi pulau dewata yang mungkin sudah over exploitated. Menyadari bahwa jika pola pembangunan masih dibiarkan seperti sekarang (berpikir hanya untuk short term demi meraih keuntungan dalam waktu singkat) akan mengubah pulau surga ini menjadi neraka, maka dorongan untuk kembali kepada bali yang luhung menjadi angin sejuk dalam cuaca panas ini.

Ajeg Bali secara gampangnya kita diajak tuk meng-ajeg-kan bali. Ajeg secara harfiah artinya kokoh, kuat (sorry kalau salah). Ajeg bali menurut pendapatku adalah kembali kepada jati diri bali itu sendiri, kembali kepada budaya bali yang adiluhung yang diwariskan oleh leluhur kita. Kalau kita cermati sekarang sangat lumrah ditemui penyimpangan dari budaya luhur ini. Saya tidak bermaksud mengajak melestarikan tajen (kan warisan budaya juga,heheheh). Juga bukan berjudi atau minum2 yang harus diajegkan (walaupun secara turun temurun kita tahu orang bali cukup identik dengan judi dan minum arak/tuak,…uhuy).

Sekarang anak2 muda didorong untuk berkesenian bali. Kalau purnama atau tilem anak2 sekolah berpakaian adat. Ada juga usulan kalau bahasa bali harus dijadikan bahasa pengantar di sekolah. Semua dilakukan demi meng-ajeg-kan Bali. Ne be madan ajeg bali gus…….begitulah tanggapan banyak orang ketika ditanya apa maksudnya ajeg bali.

Apakah lestarinya tarian dan tabuh bali itu yang dimaksud dengan ajeg bali? Apakah dengan menggunakan pakaian adat kita membuat bali menjadi ajeg? Apakah penggunaan bahasa bali?. Bisa ya, bisa juga tidak. Kesenian Bali adalah salah satu produk budaya yang menjadi identitas khas daerah kita. Tetapi kalau kita mau mewujudkan ajeg bali mau tidak mau kita harus berpaling kepada filosopi dasar kehidupan masyarakat bali (begitu hebatnya leluhur kita bukan). Apakah itu?----- Tri Hita Karana------

Saya sependapat (mungkin lebih tepatnya saya mengikuti pendapatnya) dengan pemikiran seorang penulis di radar bali (jawa pos, tapi saya lupa nama penulisnya). Beliau mengatakan bahwa yang harus dilakukan oleh masyarakat bali untuk mencapai ajeg bali adalah kembali kepada Tri Hita Karana. Tri artinya 3, Hita artinya kebahagiaan, karana artinya penyebab. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Yaitu Parahyangan (hubungan harmonis dengan Tuhan), pawongan (hubungan harmonis dengan sesama), Palemahan (hubungan harmonis dengan lingkungan, alam sekitar kita termasuk tumbuhan dan hewan). Kehidupan tetua/leluhur kita terdahulu adalah mengacu pada konsep Tri Hita Karana ini. Kita ambil contoh dari sisi palemahan.Alam bali dahulu pastilah sangat indah karena tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Leluhur kita menyadari bahwa merusak alam pada akhirnya akan membinasakan diri sendiri. Dan ini didukung oleh kehidupan masyarakat dahulu sebagai masyarakat agraris/pertanian (kalau dulu leluhur kita ga bersahabat dengan alam, semua hutan digunduli, ujung2nya kan banjir, ga bisa panen tuh….. ape kel daar). Memilih lahan untuk dijadikan perumahan pun ada aturannya. Termasuk bentuk rumah dan tata letaknya.Karena menghormati alam, maka leluhur kita tidak sembarangan menebang pohon. Kalau menebang pohon pun lalu segera ditanam penggantinya.

Kemajuan jaman memang tidak bisa ditolak. Perpindahan sistem agraris menjadi industri dan selanjutnya informasi dan teknologi mau tidak mau berdampak pada Bali. Perkembangan pariwisata mengharuskan dibangunnya sarana prasarana penunjang. Hotel, restaurant, dan segudang yang lain berdiri demi menikmati manisnya madu pariwisata. Tapi sayangnya kita tidak membangun semua itu dengan bijaksana. Kita tidak memikirkan efek negatif yang mungkin timbul dikemudian hari. Mata kita sudah terlanjur silau dengan gemerincing dolar. Dan sekarang kita dapat melihat akibatnya.

Banyak sekali lahan subur yang telah beralih fungsi menjadi hotel/villa. Tebing, bukit telah berubah menjadi lokasi berdirinya hunian wisata. Secara tidak langsung pepohonan hijau yang dulunya sangat banyak, mau tidak mau harus mengalah kepada beton dan sebangsanya. Lebih lucu lagi, pantai bisa dikavling oleh hotel sehingga banyak krama yang harus memindahkan lokasi untuk melasti (heheheheeh……..). Dampaknya? Ya jangan salahkan jika sering banjir, jangan salahkan jika populasi hewan tertentu dan juga tanaman tertentu menjadi berkurang, jangan salahkan juga jika udara semakin panas.

Tapi ada hal lain yang membuat saya agak kecewa (atau malah sebenarnya membuat tertawa). Karena begitu hebatnya bius pariwisata, pemerintah bali sepertinya agak melupakan sektor pertanian (padahal budaya bali yang luhung adalah produk dari masyarakat agraris). Sektor ini menjadi anak tiri beberapa dasawarsa terakhir. Selain tidak melindungi lahan pertanian (lahan subur kan kenyataannya sudah banyak beralih fungsi), menjadi petani sama saja menjadi miskin. Makanya sedikit sekali orang yang mau terjun di bidang pertanian. Anak2 muda lebih tertarik memburu dolar di kawasan pariwisata seperti kuta, nusa dua, ubud, dsb. Yang menurut saya lucu adalah: membludaknya wisatawan kan seharusnya berarti membludaknya kebutuhan akan bahan pangan/makanan. Berarti kan sektor pertanian menjadi salah satu penyokong utama pariwisata (selain peternakan tentunya). Eh, kok malah bisa2nya dianaktirikan dan akibatnya yang seperti terjadi sekarang, sebagian besar diimpor dari luar bali (karena budaya bali yang luhur lahir dari masyarakat agraris bukankah sepantasnya pertanian juga harus dijadikan salah satu tulang punggung perekonomian menuju bali yang ajeg?)

Lebih baik terlambat daripada tidak berubah sama sekali. Jangan rusak rumah kita sendiri. Stop pembangunan yang merusak alam kita. Bapak/ibu yang punya lahan subur, jangan terbuai rayuan investor yang mau membeli tanahnya ya. Jangan dong jual tanah trus beli mobil. Olah lahannya tuk menghasilkan mobil (heheheheh). Jangan kebanyakan metajen, judi dan miras. Kita harus bisa mandiri di daerah sendiri. Kita harus berkuasa di daerah yang kita cintai ini. Kalau kita tidak bisa berdikari secara ekonomi kok saya jadi pesimis kita bisa melestarikan budaya bali. Hanya orang bali yang punya soul/jiwa membuat budaya bali memiliki taksu. Bayangkan jika orang bali terdesak secara ekonomi, ujung2nya ntar semua lahan dijual deh (akibat kepepet), trus transmigrasi…… semakin sedikit orang bali di bali…. Dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi seperti betawi (menjadi kaum marginal di jakarta). Kalau kita sebagai orang bali memang mencintai bali dan ingin bali tetap ada……kita tahu apa yang harus dilakukan.

*kok bahasannya malah melebar yah… dari ajeg bali kok malah menjadi harus merdeka di daerah sendiri. Malah bingung, hubungannya apa coba……

Tidak ada komentar: