Kamis, 26 Juni 2008

Paradoks Agama : Kasih dan Kekerasan

Pertanyaan mendasar tentang agama, kenapa ia ada? Jawaban sederhananya adalah agama ada untuk mengingatkan umat manusia tentang Dia (Tuhan), agar kita mendekatkan diri pada-Nya, mengikuti perintah-Nya dan menjauhi larangan-Nya. Tuhan melalui wahyu-Nya yang kemudian kita sebut sebagai kitab suci (dan selanjutnya juga muncul agama yang berbeda karena kitab suci yang berbeda ) mengingatkan kita tentang Dia yang Tunggal, Maha Pengasih, Maha Adil, Maha Bijaksana, Maha Tahu,Maha Kuasa dan seterusnya.

Setahu saya tidak ada kitab suci dimana Tuhan menyebut diri-Nya Maha Kejam, Si Iri Hati, Pemarah, Pendendam, Pendusta, dsb. Karena itu tidak salah saya beranggapan Tuhan melalui wahyu-Nya yang dapat kita temukan dalam kitab suci/agama menginginkan umat-Nya hidup dalam Kasih. Kalau ternyata ada kemudian Kitab Suci dimana Tuhan memerintahkan untuk melakukan perbuatan yang jauh dari Kasih, jauh dari Adil, jauh dari Bijaksana, jauh dari Hakikat Kemanusiaan, boleh kan saya menganggap itu bukan wahyu Tuhan.

Adanya berbagai agama dan kepercayaan mengenai Tuhan di dunia ini adalah suatu realitas. Setiap agama besar yang ada mengakui bahwa Tuhan itu Satu/Tunggal. Karena setiap agama besar yang masih ada mengakui bahwa Tuhan itu tunggal (baik yang berpaham Monotheisme maupun Pantheisme) akan muncul pertanyaan selanjutnya apakah Tuhan dari masing-masing agama sama? Apakah Tuhan-nya kaum Kristiani sama dengan Tuhan-nya kaum Muslim, apakah sama dengan Tuhan-nya kaum Hindu? Ada yang akan mengatakan Tuhan kita sama, hanya saja jalan yang kita ambil dalam berhubungan/mendekatkan diri pada-Nya saja yang berbeda. Banyak jalan menuju Roma. Sungai-sungai yang mengalir pada akhirnya akan menuju samudera, demikian contoh perumpamaan yang dipakai. Tetapi tidak dapat dipungkiri banyak juga yang mengatakan agama-nya lah yang paling benar. Orang yang tidak menganut agama seperti mereka adalah orang yang tidak ber-Tuhan (kafir?). Tuhan dan kebenaran adalah milik kaum mereka sendiri. Di luar kaum mereka, dianggap salah dan tidak ber-Tuhan (sehingga harus di-Tuhan-kan/di-agama-kan, artinya ya harus diajak/”dipaksa?” mengikuti agamanya).

Mari kita berpikir secara sederhana/bodoh. Bayangkan jika setiap orang menganggap agama yang dianutnya adalah paling benar dan meng-kafir-kan umat beragama/keyakinan lain. Karena agama yang dianutnya paling benar dan Tuhan memerintahkan untuk mengajak orang yang berada di jalan yang salah kembali ke jalan yang benar maka akan terjadi “perlombaan” meng-agama-kan orang lain (demi hadiah yang bernama Surga). Orang Hindu akan berlomba meng-Hindu- orang Kristen, Islam, Budha, dan sebagainya. Begitu juga teman Muslim akan berlomba meng-Islam-kan umat Hindu, Kristiani,dsb. tak ketinggalan sejawat Kristiani meng-Kristen-kan Hindu, Islam,dst. Apakah perlombaan itu akan menghasilkan pemenang tunggal? Jelas jawabannya tidak. Tetap saja akan ada orang yang berkeyakinan Hindu, Islam, Kristiani, Budha, dsb. Pastinya proses konversi tersebut akan menimbulkan dampak sosial yang luar biasa, terjadinya pemaksaan yang berujung kekerasan/peperangan.

Sangatlah lucu jika kebenaran itu diklaim sebagai milik kaum sendiri. Tuhan dikerangkeng/dibatasi hanya sebagai Tuhan untuk kaumnya (menggelikan, sesuatu yang tidak terbatas/Tuhan kok dibatasi). Tidakkah kita berpikir (kan kita punya otak yang dianugerahkan oleh Tuhan) bagaimana jika berada dipihak yang berbeda dan meyakini agama kaum yang berbeda itu sama kuat dengan agama yang kita anut saat ini. Tentu saja dapat dibayangkan kita tidak akan mau berpaling dari keyakinan kita. Alih-alih memaksa orang/kaum yang belum tentu salah, mengikuti keyakinan kita, alangkah lebih mulia jika kita mendalami lagi agama yang kita yakini. Jangan-jangan selama ini kita telah keliru menafsirkan ajaran agama kita sendiri. Bukankah aneh, kalau ajaran agama yang penuh kasih kok malah membuat kita melakukan kekerasan, pemaksaan, peperangan. Siapa yang salah kalau begitu? Menurut saya jelas, yang salah adalah orang yang menjalankan/mengamalkannya.

Kekerasan yang muncul mengatasnamakan agama, atau berlindung di bawah kitab suci agama sebenarnya malah telah melukai/menodai agama itu sendiri. Jangan salahkan adanya orang yang tidak beragama karena mereka melihat bahwa agama telah bertanggung jawab atas terjadinya peperangan/kekerasan di muka bumi ini. Sejarah pun telah mencatat terjadinya perang ratusan tahun mengatasnamakan agama (sungguh kasihan sekali dikau agama. Pengikutmu yang berbuat engkau yang harus bertanggung jawab). Perbedaan itu memang ada. Karena itu hormatilah, hargailah.

Mengutip syair lagu Laskar Cinta-nya Dewa 19: Wahai jiwa-jiwa yang tenang, jangan sekali-kali kamu. Mencoba jadi Tuhan dengan mengadili dan menghakimi. Bahwasannya kamu memang tak punya daya dan upaya, serta kekuatan untuk menentukan kebenaran yang sejati. Bukankah kita memang tercipta laki-laki dan wanita. Dan menjadi suku-suku dan bangsa-bangsa yang pasti berbeda. Bukankah kita memang harus saling mengenal dan menghormati. Bukan untuk saling bercerai berai dan berperang angkat senjata.


*Tuhan bukan untuk diperdebatkan, tetapi untuk dialami…

Tidak ada komentar: