Senin, 28 April 2008

Uluwatu (3)----Bali on Sale

Dikavlingnya tanah di Uluwatu oleh investor benar-benar membuktikan bahwa Bali memang sedang dijual. Bali bagaikan gadis cantik yang diperebutkan untuk dimiliki dan dikuasai. Ratusan bahkan ribuan hektar tanah telah dialihfungsikan menjadi lapangan golf dan villa. Tragisnya pengalihfungsian lahan tersebut banyak sekali melabrak peraturan dan awig-awig yang sebetulnya dibuat untuk menjaga Bali tetap me-Taksu dan tetap Ajeg.

Wisatawan datang ke Bali karena keindahannya, karena adat istiadat budayanya, karena spiritualitasnya. Masuknya investasi dengan deras ke Bali termasuk dengan “membeli” peraturan yang ada sehingga memperlancar proyeknya pelan tapi pasti akan menghancurkan Bali. Dan anehnya, sekian kurun waktu pejabat-pejabat berwenang, pemegang kebijakan, penegak aturan, seakan-akan membisu. Tidakkah mereka yang menjabat itu menyadari bahwa masuknya investor tersebut adalah untuk bisnis semata. Mereka tidak peduli pada apa yang akan terjadi pada Bali di masa datang. Yang mereka pikirkan adalah apa yang dapat diperoleh dari Bali. Setelah 10 tahun mereka mungkin sudah bisa balik modal dari investasi yang mereka tanamkan. Untuk tahun-tahun berikutnya mereka menikmati keuntungan berlebih dari bisnisnya disini. Kalau kemudian kunjungan wisatawan ke Bali semakin sedikit (karena Bali di masa datang sudah tidak indah lagi, sudah memudar spiritualitasnya), mereka toh tidak rugi-rugi amat. Mereka akan mencari tempat lain untuk berinvestasi kembali.

Tetapi apa yang akan terjadi pada Bali? Apa yang akan menimpa penduduk Bali? Bali yang mengandalkan pariwisata apakah bisa bertahan/sejahtera saat wisatawan tidak lagi melirik kita? Seharusnya pemikiran untuk jangka panjang dalam membuat kebijakan dan tentu saja pelaksanaannya menjadi pedoman pejabat dalam mengatur arus investasi yang masuk. Seharusnya tidak boleh lagi ada Tanah Lot kedua. Tetapi kenyataannya apa yang terjadi di sana terulang lagi di tempat-tempat lain. Dan yang harus disorot tentu saja pejabat yang meng-iya-kan proyek-proyek tersebut. Apakah pejabat-pejabat kita di Bali sudah tidak percaya lagi dengan Hukum Karma?

Semoga bapak/ibu yang duduk di atas masih mempunyai jiwa “Bali” yang jujur dan tidak bisa dibeli oleh uang.

*Ketika kau masih berkuasa, ketika kau masih muda dan sehat-kau lupa bahwa kekuasaan itu bersifat sementara. Kau lupa bahwa usia muda dan energi yang kau miliki saat ini akan sirna. Kau tidak ingat bahwa kesehatan itu adalah rahmat Gusti Allah, berkah Hyang Widhi. Apa yang terjadi ketika rahmat dan berkah itu dicabut? Tinggal menoleh ke kanan dan ke kiri, dan kau akan melihat sendiri-----Anand Krishna*

Uluwatu (2) ----- Cerita berlanjut……

Kisruh berkenaan dengan ‘pemerkosaan’ kawasan suci Uluwatu terus berlanjut. Setelah munculnya isu ini ke permukaan, banyak fakta mengejutkan mulai terungkap. Belasan villa ternyata telah bermunculan di area yang termasuk kawasan suci Uluwatu (yang secara peraturan tidak diijinkan). Dan hebatnya lagi, ternyata villa-villa tersebut telah mengantongi ijin dari Pemkab Badung. Dan semakin hebat lagi ternyata Pemkab berani mengeluarkan ijin karena mengaku tidak pernah ada protes dari warga.

Saya salut sekali dengan tindakan pejabat/instansi yang memberi ijin. Salut karena mereka sangat berani melanggar peraturan yang ada. Keberanian memang sikap mental yang kita butuhkan jika kita ingin berhasil meraih sesuatu. Tapi sayang sekali bapak/ibu pejabat sekalian, keberanian yang anda pertontonkan tidak pada tempatnya. Kalau anda berani menolak permohonan ijin investor untuk mendirikan villa karena hal tersebut dilarang oleh peraturan yang berlaku, maka kami akan bangga dengan kalian. Mungkin anda beralasan bahwa ijin itu dikeluarkan karena anda berpihak kepada warga Pecatu. Warga Pecatu tidak dapat memanfaatkan lahan yang mereka punya di area kawasan suci karena lahan tersebut berkapur dan tidak cocok untuk ditanami sesuatu yang menghasilkan uang, di lain pihak warga terkena beban pajak yang sangat tinggi (karena dianggap lahan berada di kawasan pariwisata-bahkan ada yang harus membayar 30 juta setahun padahal lahan tidak bisa dimanfaatkan).

Sebagai abdi negara yang ‘digaji’ oleh rakyat maka sudah sepantasnya bapak/ibu dan rekan sekalian yang duduk di pemerintahan mengabdi untuk kepentingan rakyat. Pekerjaan sebagai abdi negara adalah pekerjaan yang sangat mulia (bukankah kita semua ingin mengabdi, baik untuk diri sendiri, keluarga, masyarakat, bangsa dan negara). Sebagai mahluk Tuhan yang dibekali intelektual untuk mengatasi masalah yang dihadapi, terlebih duduk di pemerintahan, saya yakin banyak alternatif yang bisa dilakukan untuk membantu warga Pecatu berkaitan dengan masalah tersebut tanpa melanggar peraturan yang sudah ada. Kalau toh peraturan yang sudah ada ternyata tidak berpihak kepada mereka, bukankah peraturan tersebut bisa diusulkan untuk diubah? Kalau toh peraturan mengenai batas suci Sad Khayangan sejauh radius 5 km tidak bisa diutak-atik lagi (peraturan ini tentu sudah dibuat dengan pertimbangan yang sangat matang demi kepentingan Bali sebagai sebuah Pulau Spiritual), bukankah masih ada laternatif lain. misalnya dengan meringankan beban pajak bagi warga disana.

Ketika memutuskan untuk bekerja di pemerintahan, seharusnya kita semua sudah tahu hak dan kewajiban yang akan kita jalani. Sebagai abdi negara, tugas bapak/ibu dan rekan sekalian bukanlah sebagai pedagang, bukan sebagai makelar. Kalau mau jadi pengusaha/pedagang ya jangan masuk ke pemerintahan. Atau silakan menjadi pedagang/pengusaha di luar waktu yang harus anda sediakan sebagai abdi negara. Tetapi tolonglah jangan jadikan wewenang yang melekat pada jabatan anda sebagai kesempatan meraih keuntungan secara finansial (istilah untung rugi seharusnya adalah alamnya dunia ekonomi, dunianya pedagang/pengusaha). Saya pribadi yakin bahwa anda tahu tentang aturan yang melarang pembangunan di kawasan suci tersebut. Lalu, apakah karena tergiur dengan gemerincing uang yang ditawarkan oleh investor anda seketika berubah menjadi seorang pedagang? Dalam hal ini tentu saja anda berdagang ijin, ijin untuk membangun. Sungguh sangat sangat sangat menyedihkan. Ternyata uang memang bisa membeli segalanya, termasuk HARGA DIRI kita. Terlepas dari benar tidaknya ada permainan uang dalam keluarnya ijin tersebut (bahkan saat proses pembangunannya pun tidak ada protes dari pengawas), saya sebagai warga biasa tetap mengucapkan terima kasih atas pelajaran yang bapak/ibu berikan melalui kasus ini. Kasus ini bisa kita jadikan contoh. Contoh baik yang patut kita teladani atau contoh buruk yang sebaiknya kita hindari. Dan kita bebas menentukan pilihan mana yang akan kita ikuti.

*Menurut informasi, 3 Dinas terkait keluarnya ijin tersebut terkesan saling lempar tanggung jawab (kalau masalah tanggung jawab pasti saling lempar, kalau urusan duit…… hehehehe)

Sabtu, 26 April 2008

Yang Sesat dan Yang Ngamuk

Seandainya semakin banyak tokoh seperti A.Mustofa Bisri, kita semakin punya harapan akan lebih terwujudnya kerukunan hidup umat beragama baik antar agama maupun intra agama. Berikut adalah tulisan beliau yang saya ambil dari sebuah koran nasional.

Karena melihat sepotong, tidak sejak awal, saya mengira massa yang ditayangkan TV itu adalah orang-orang yang sedang kesurupan masal. Soalnya, mereka seperti kalap. Ternyata, menurut istri saya yang menonton tayangan berita sejak awal, mereka itu adalah orang-orang yang ngamuk terhadap kelompok Ahmadiyah yang dinyatakan sesat oleh MUI.

Saya sendiri tidak mengerti kenapa orang yang dinyatakan sesat harus diamuk seperti itu? Ibaratnya, ada orang Semarang bertujuan ke Jakarta, tetapi ternyata tersesat ke Surabaya, masak kita-yang tahu bahwa orang itu sesat-menempelenginya. Aneh dan lucu.

Konon orang-orang yang ngamuk itu adalah orang-orang Indonesia yang beragama Islam. Artinya, orang-orang yang berketuhanan Allah Yang Maha Esa dan berkemanusiaan adil dan beradab. Kita lihat imam-imam mereka yang beragitasi dengan garang di layar kaca itu kebanyakan mengenakan busana Kanjeng Nabi Muhammad SAW.

Kalau benar mereka orang-orang Islam pengikut Nabi Muhammad SAW, mengapa mereka tampil begitu sangar, mirip preman? Seolah-olah mereka tidak mengenal pemimpin agung mereka, Rasulullah SAW.

Kalau massa yang hanya makmum, itu masih bisa dimengerti. Mereka hanyalah mengikuti telunjuk imam-imam mereka. Tapi, masak imam-imam yang mengaku pembela Islam itu-tidak mengerti misi ciri Islam yang rahmatan lil’aalamiin, tidak hanya rahmatan lithaaifah makhshuushah (golongan sendiri). Masak mereka tidak tahu bahwa pemimpin agung Islam, Rasulullah SAW, adalah pemimpin yang akhlaknya paling mulia dan diutus Allah untuk menyempurnakan akhlak manusia.

Masak mereka tidak pernah membaca, misalnya ayat Q. 5:8 yang artinya, wahai orang-orang yang beriman jadilah kamu penegak-penegak kebenaran karena Allah dan saksi-saksi yang adil. Dan janganlah sekali-kali kebencianmu kepada suatu kaum menyeret kamu untuk berlaku tidak adil. Berlaku adillah; adil itu lebih dekat kepada takwa. Takwalah kepada Allah. Sungguh Allah Maha Mengetahui apa yang kau kerjakan.

Apakah mereka tidak pernah membaca kelembutan dan kelapangdadaan Nabi Muhammad SAW atau membaca firman Allah kepada beliau Q. 3: 159, artinya, maka disebabkan rahmat dari Allah-lah engkau berperangai lemah lembut terhadap mereka. Sekiranya engkau kasar dan berhati kejam, niscaya mereka akan lari menjauhimu…..”

Sungguh saya tidak mengerti jalan pikiran atau apa yang merasuki pikiran mereka sehingga mereka tidak mampu bersikap tawaduk penuh pengayoman seperti dicontoh-ajarkan Rasulullah SAW di saat menang. Atau, sekadar membayangkan bagaimana seandainya mereka yang merupakan pihak minoritas (kalah) dan kelompok yang mereka hujat berlebihan itu mayoritas (menang).

Sebagai kelompok mayoritas, mereka tampak sekali seperti kata orang Jawa-tidak tepa selira. Apakah mereka mengira bahwa Allah senang dengan orang-orang yang tidak tepo seliro, tidak menenggang rasa? Yang jelas Allah, menurut Rasul-Nya, tidak akan merahmati mereka yang tidak berbelas kasihan kepada orang.

Saya heran mengapa ada-atau malah tidak sedikit-orang yang sudah dianggap atau menganggap diri pemimpin bahkan pembela Islam, tapi berperilaku kasar dan pemarah. Tidak mencontoh kearifan dan kelembutan Sang Rasul, pembawa Islam itu sendiri. Mereka malah mencontoh dan menyugesti kebencian terhadap mereka yang dianggap sesat.

Apakah mereka ingin meniadakan ayat dakwah? Ataukah, mereka memahami dakwah sebagai hanya ajakan kepada mereka yang tidak sesat saja? Atau ? kelihatannya kok tidak mungkin kalau mereka sengaja berniat membantu menciptakan citra Islam sebagai agama yang kejam dan ganas seperti yang diinginkan orang-orang bodoh di luar sana. Tapi…..

Rabu, 23 April 2008

Biofuel Picu Krisis Pangan

Artikel berikut saya ambil dari Jawa Pos, 22 April 2008. Saya posting disini dengan maksud supaya dapat memberi pemikiran yang berbeda buat kita terkait dengan isu global warming dan krisis pangan.

Antisipasi krisis energi dengan mencari sumber bahan bakar alternatif justru semakin mengancam persediaan pangan dunia. Sebab, sebagian bahan pangan lantas dialokasikan untuk memproduksi biofuel. Akibatnya harga bahan panagn kian melambung.

Bank Pembangunan Asia atau Asian Development Bank (ADB) mengimbau negara-negara berkembang lebih mengamankan cadangan bahan makanan bagi kebutuhan pangan daripada biofuel. “Sudah saatnya negara-negara di seluruh dunia meninjau kembali kebijakan mereka soal biofuel. Apalagi, sampai sekarang belum jelas seberapa ramah biofuel terhadap lingkungan,” ujar Managing Director ADB Rajat Nag dalam wawancara dengan The Associated Press kemarin (21/4).

Lebih lanjut, dia mengatakan bahwa produksi masal biofuel justru menghancurkan hutan serta lahan pertanian. Karena tidak lagi tersedia cukup lahan untuk tanaman pangan di hampir seluruh negara, kebutuhan pangan makin menipis. “Karena itu, kami mengimbau pemerintah negara-negara berkembang untuk benar-benar memikirkan kembali kebijakan tentang subsidi biofuel. Sebab, subsidi itu sama saja dengan membebankan pajak semu terhadap makanan pokok,” lanjut Nag.

Menurut dia, pemerintah di beberapa negara membatasi produksi pangan dengan menyarankan petani menanam bahan biofuel. Tanpa menyebut negara itu, dia membeber bahwa produsen ethanol terbesar dunia (Amerika Serikat) menyebabkan harga jagung dan biji-bijian lain melambung. Sebab di negara adidaya itu, ethanol dihasilkan dari jagung dan gandum. Kabarnya, AS memberikan subsidi kepada petani yang bersedia menanam jagung dan gandum untuk produksi ethanol.

“Kami yakin, membiarkan petani menentukan sendiri tanaman yang mereka budidayakan akan lebih bijaksana,” ujar Nag. Yang terpenting, pilihan jenis tanaman tersebut lebih didasarkan pertimbangan harga, baik relatif maupun internasional, bukan bergantung pada besaran subsidi.

Belakangan, harga pangan yang terus melambung akibat kenaikan harga bahan bakar mengerek ongkos produksi dan transportasi. Protes dan konflik internal pun tak bisa dihindari. Beberapa pekan terakhir, krisis pangan telah memicu kerusuhan di Karibia dan beberapa negara Afrika serta Asia.

Bertolak dari fenomena tersebut, Nag bakal menjadikan krisis akibat kenaikan harga bahan pangan sebagai agenda utama pertemuan tahunan ADB di Madrid, Spanyol, pekan depan. Dia juga mengimbau pemerintah tidak mengatasi menipisnya cadangan pangan dengan menetapkan harga atau melarang ekspor. Kebijakan itu justru kontraproduktif. “Mengendalikan harga pangan hanya akan membuat petani mengurangi kapasitas produksi. Kita tidak inginkan itu.”

Uluwatu ------ Next Target

Sedikit terkejut juga membaca artikel di koran pertengahan April ini. Topiknya mengenai usulan dari warga Pecatu agar batas kesucian Pura Luhur Uluwatu diciutkan menjadi hanya 1 km (sebelumnya adalah 5 km sesuai dengan peraturan yang sudah ada). Dari alasan yang dikemukakan secara logika sebenarnya masuk akal. Dengan kondisi tanah berkapur, dalam radius batas kesucian pura selama ini, maka secara ekonomi sangatlah tidak menghasilkan bagi warga sekitar. Lahan tidak dapat ditanami sesuatu yang produktif. Dengan mengandalkan pariwisata sebagai ‘jualan’ utama tentu beralasan jika warga berharap dapat memanfaatkan lahan tersebut untuk kepentingan pariwisata.

Tapi sedikit tergelitik juga, apakah benar usulan tersebut murni dari warga Pecatu. Sebagai orang Bali saya masih menganggap bahwa berkaitan dengan hal-hal yang sifatnya spiritual/niskala, kita orang Bali umumnya sangat berhati-hati. Jangan-jangan nanti malah menimbulkan musibah. Bukankah kita cenderung memilih lebih baik hidup sederhana daripada mengutak-atik kesucian pura (sehingga mendapat uang lebih banyak) namun berujung murkanya Ida Betara Sesuhunan. Jangan-jangan usulan tersebut adalah berasal dari oknum yang ingin memanfaatkan kawasan tersebut untuk kepentingan bisnis pariwisatanya. Atau malah lebih ekstrem lagi jangan2 hal itu merupakan salah satu dari sekian banyak upaya untuk melemahkan Bali (lebih tepatnya menghancurkan Bali)

Bali adalah pulau spiritual. Menurut orang-orang yang menekuni spiritual,Bali adalah salah satu dari 2 tempat di dunia yang memiliki kekuatan spiritual yang tinggi (maaf kalau salah). Bahkan ada yang bilang, Bali menjadi target untuk dilumpuhkan,karena dengan melumpuhkan Bali maka Nusantara bisa dikuasai (bahkan dunia). Begitu pentingnya posisi Bali secara spiritual (antara percaya dan tidak sebenarnya saya terhadap pendapat seseorang ini, tetapi jujur, sebagai orang Bali saya percaya).

Kehidupan modern sekarang ini dengan hingar bingar pariwisata, miras, judi, seks bebas, dan berbagai macam aktivitas yang mengeluarkan gelombang negatif secara tidak langsung telah menggerogoti spiritualitas Bali. Untungnya warga Bali yang mayoritas Hindu masih berpegang pada laku spiritual yang memancarkan gelombang positif. Ribuan bahkan jutaan kembang masih ditabur, dupa masih dinyalakan, lantunan mantra/doa masih dialunkan. Jika hal-hal seperti ini nantinya ditinggalkan, saya tidak tahu apakah magis bali masih bisa terjaga.

Kembali kepada usulan untuk menciutkan batas kesucian Uluwatu, reaksi penolakan yang dilontarkan oleh pejabat, PHDI, dan berbagai kalangan patut mendapat apresiasi. Seperti yang dikemukakan ketua DPRD Bali, “ jangan diotak-atik lagi jika ingin menjaga kesucian Bali. Kesucian Bali merupakan modal utama, apakah Bali kedepan runtuh atau bisa bertahan sebagai pulau spiritual.” Pada kenyataannya sekarang pun kesucian banyak Pura di Bali telah digerogoti demi kepentingan pariwisata (Tanah Lot misalnya, juga Besakih dan Uluwatu). Saya yakin suasana spiritual/magis Pura2 tersebut pasti lebih rendah dibanding dahulu. Berbeda dengan Lempuyang, Batukaru, dan beberapa Pura lain yang kekuatan spiritualnya masih tinggi (menurut seorang pelaku spiritual). Kalau usulan ini disetujui apa jadinya? Semakin tidak me”taksu” tempat2 ini (mungkin Ida Betara memilih ‘mengungsi’ ke tempat lain yang lebih tenang,hehehe ). Pastinya jangan demi dolar kita rela memangkas batas kesucian pura. Harus pula diingat sebagian besar wisatawan yang loyal dan berduit datang ke Bali adalah karena Budaya dan Nuansa Spiritualnya (bukan karena dugemnya, pantainya, arak, gadis2 lokalnya,hehehehe).

Jangan terkecoh, terbuai oleh rayuan dolar. Ingat, Bali menjadi target untuk dihancurkan secara spiritual. Spiritual kita di Bali ingin dilemahkan kemudian dikuasai. Jangan sampai hal ini terjadi. Tugas kita bersama untuk menjaga Bali tetap ada.

Selasa, 22 April 2008

Boycott Santun

Kita semua sudah melihat dari televisi ataupun membaca dari surat kabar, internet dan berbagai media lainnya mengenai rencana aksi boikot terhadap olimpiade Beijing beberapa bulan kedepan. Mulai dari tokoh politik sampai seniman/artis menyerukan hal ini. Keinginan tersebut muncul sebagai reaksi atas sikap pemerintah China terhadap para demonstran Tibet. Dengan dalih penegakan HAM mereka mencoba menekan pemerintah China agar bersikap adil terhadap Tibet.

Aksi protes terhadap pemerintah China tersebut dilakukan juga saat obor api olimpiade diarak keliling dunia. Termasuk salah satunya adalah aksi dimana seorang pembawa obor (seorang penyandang cacat di atas kursi roda) melakukan tindakan yang sangat heroik yaitu mempertahankan obor yang dibawanya dari tindakan anarkis demonstran Perancis.

Rasa nasionalisme China terbakar. Mereka menghujat aksi demonstrasi yang dilakukan tersebut. Sebagai sebuah bangsa dan negara yang berdaulat China tentu punya hak untuk mengurus urusan dalam negerinya sendiri. Tidak ada yang berhak mengganggu kedaulatan mereka (bandingkan dengan yang terjadi di Timor Timur dulu). Otonomi yang diminta oleh Dalai Lama menurut mereka tidak masuk akal. Dari informasi yang saya baca, Dalai Lama tidak hanya meminta otonomi Tibet, tetapi juga termasuk daerah-daerah lain yang dihuni oleh suku/kaum mereka (kalau dihitung mencapai ¼ luas China). Selain itu Beliau juga meminta bahwa tidak boleh ada satu pun anggota pemerintahan di Tibet yang berasal dari suku Han (padahal suku Han adalah mayoritas penduduk China-90%). Kalau begini tentu saja sebagai bangsa yang berdaulat dan salah satu negara raksasa, mana mungkin mau menerima permintaaan seperti itu. Harga mati bagi China adalah Tibet tetap sebagai wilayah dari negara China (Hongkong saja sudah kembali lagi ke China masa Tibet mau dilepas). Terlebih lagi, Presiden China sekarangHu Jinto adalah mantan panglima militer China yang ditugaskan mengendalikan Tibet dulunya.

Patut disimak adalah aksi balasan yang dilakukan oleh warga China terhadap serangan demonstarn luar. Menyikapi aksi terhadap pembawa api obor olimpiade di Perancis, warga China memilih untuk melakukan boikot terhadap produk2 yang berbau Perancis. Perusahaan2 Perancis yang mulai tumbuh pesat di China setelah China membuka diri terhadap pasar bebas kena getahnya. Warga tidak lagi menjadikan Carrefour sebagai tempat tujuan untuk berbelanja (padahal ekspansi Carrefour di sana sangat dahsyat, 1 kota bisa ada 3-4 gerai). Tidak perlu sweeping warga Perancis, heheeheheh. Dan sebagai responnya expatriat2 di sana malah menghimbau kepada pemerintahnya agar bisa menyikapi masalah Tibet ini dengan lebih bijak dan adil.

Jadi terbayang jika hal tersebut bisa dilakukan di Indonesia. Kalau kita mau akui sering sekali terjadi protes terhadap negara2 luar oleh masyarakat Indonesia. Bahkan ekstremnya aksi protes tersebut dilakukan dengan membakar bendera, berdemo di kedubes mereka, bahkan sampai sweeping WNA. Tetapi anehnya kita masih pergi ke McDonald, minum Coca Cola, belanja di Carrefour, memakai Levi’s, LV, bersepatu Nike, dsb..dsb….dsb…

Dan sebenarnya bangsa kita masih belum merdeka, kita masih di JAJAH… Apakah kita dapat mengatakan negara ini sudah BERDAULAT?

Jumat, 18 April 2008

Teman Baru ( Atau lebih tepatnya adik baru)

Berawal dari iseng2 ngobrol dengan teman beberapa waktu yang lalu. Salah satu topik yang dibahas adalah masalah ke-jomblo-an ku tentunya (selalu menjadi topik menarik buat teman2ku). Bukan aku namanya kalau tidak bisa menanggapinya dengan tetap tersenyum dan ‘nodong’ buat dibantuin. Dikenalin kek, atau gimana lah caranya. Ujung-ujungnya dia menawari aku untuk dikenalin dengan adik sepupunya.

Aku menerima tawaran tersebut dengan sedikit bingung juga awalnya. Mengetahui bahwa sepupunya itu masih kuliah dan hampir 8 tahun lebih muda dibanding aku. Tapi setelah dipikir-pikir ga ada salahnya juga untuk dicoba. Kan niatannya adalah mendapatkan teman baru, heheheheh…….

Diberikanlah padaku nomor telepon adiknya itu. Dan cerita berlanjut ketika aku mulai mengirim sms kepada calon kenalan baru ini. Setelah beberapa kali sms terbayang dibenakku bahwa wanita yang satu ini benar2 tipikal mahasiswi (sibuk dengan kegiatan kuliah,bla3….). Sempat muncul kekhawatiran juga kalau ntar komunikasi tidak bisa terjalin dengan baik karena perbedaan usia dan perbedaan aktivitas. Tapi rasa PD ku segera muncul karena aku kan “bunglon”, hehehehe… menjadi anak kecil bisa, bersikap seperti mahasiswa ga masalah….berpandangan dan berlaku layaknya seorang yang dewasa juga sudah kujalani.

Aku ingat pertemuan pertama kami yang sebenarnya cukup mendadak. Kalau pada umumnya orang yang akan bertemu dengan seorang kenalan baru (dan lawan jenis) akan mempersiapkan diri (penampilan) dengan baik.Mandi dulu, pakai pakaian terbaik, bla3… pokoknya memberikan kesan awal yang menarik. Alih2 memberikan penampilan terbaik, pada pertemuan pertama aku bener2 bertemu dengan kondisi apa adanya. Aku yang saat dihubungi untuk bisa ketemuan sedang berada di kuta dengan pakaian yang biasa banget. Trus tidak ada niatan untuk pulang dulu karena aku harus ke tempat salah satu teman mengambil sesuatu. Dengan badan penuh keringat karena beberapa jam berada diatas sepeda motor dalam kondisi panas terik, aku tetap dengan PD meluncur ke tempat yang telah disepakati.

Setengah jam menunggu aku isi dengan merokok dan menikmati jus alpukat. Akhirnya dia datang juga. Kesan awalku adalah dia seorang yang friendly. Dia datang ternyata sama kondisinya dengan aku, maksudnya dia pun baru selesai dari aktivitas praktikum. Dandananya benar2 mahasiswi yang energik (aktif/sporty). Tidak ada kecanggungan sama sekali di antara kami (mungkin karena aku bisa berjiwa muda kali ye,hehehhhehheh). Pembicaraan mengalir dengan baik. Kami ngobrol sana sini, kebanyakan tertawanya malah. Ingin sebenarnya ngobrol lebih lama, tetapi karena dia harus kumpul lagi dengan teman2nya tuk mengerjakan tugas, ya cukup 1 jam pertemuan pertama kami.

Dua hari kemudian (sabtu) aku mengajaknya untuk ketemuan lagi. Awalnya mau ngajakin nonton, tetapi karena waktunya sangat padat dengan aktivitas kuliah dan persiapan ujian, akhirnya kami sepakat untuk makan malam. Untuk kali ini sih aku ada persiapan deh. Aku memutuskan untuk pakai kemeja, dan tentu saja sudah mandi dulu sebelumnya. Finally, we had dinner di sebuah tempat makan di daerah renon. Salah satu ucapannya yang masih kuinget adalah…. Kalau kak begi pakai kemeja gini kan mendingan, rapi. Tidak seperti kemaren tuh, kayak PREMAN……

Minggu, 13 April 2008

Bali dan Ajeg Bali

Tulisan ini kutulis karena terinspirasi setelah membaca sebuah postingan seorang kawan yang ditulis dalam blognya. Tergelitik juga untuk mencoba menggali pemikiranku yang masih dangkal ini mengenai ajeg bali. Frase ini dalam beberapa waktu belakangan menjadi jargon yang senantiasa didengung-dengungkan berbagai kalangan menyikapi kondisi Bali beberapa dasawarsa terakhir. Menjadi suatu kekhawatiran berbagai khalayak melihat kondisi pulau dewata yang mungkin sudah over exploitated. Menyadari bahwa jika pola pembangunan masih dibiarkan seperti sekarang (berpikir hanya untuk short term demi meraih keuntungan dalam waktu singkat) akan mengubah pulau surga ini menjadi neraka, maka dorongan untuk kembali kepada bali yang luhung menjadi angin sejuk dalam cuaca panas ini.

Ajeg Bali secara gampangnya kita diajak tuk meng-ajeg-kan bali. Ajeg secara harfiah artinya kokoh, kuat (sorry kalau salah). Ajeg bali menurut pendapatku adalah kembali kepada jati diri bali itu sendiri, kembali kepada budaya bali yang adiluhung yang diwariskan oleh leluhur kita. Kalau kita cermati sekarang sangat lumrah ditemui penyimpangan dari budaya luhur ini. Saya tidak bermaksud mengajak melestarikan tajen (kan warisan budaya juga,heheheh). Juga bukan berjudi atau minum2 yang harus diajegkan (walaupun secara turun temurun kita tahu orang bali cukup identik dengan judi dan minum arak/tuak,…uhuy).

Sekarang anak2 muda didorong untuk berkesenian bali. Kalau purnama atau tilem anak2 sekolah berpakaian adat. Ada juga usulan kalau bahasa bali harus dijadikan bahasa pengantar di sekolah. Semua dilakukan demi meng-ajeg-kan Bali. Ne be madan ajeg bali gus…….begitulah tanggapan banyak orang ketika ditanya apa maksudnya ajeg bali.

Apakah lestarinya tarian dan tabuh bali itu yang dimaksud dengan ajeg bali? Apakah dengan menggunakan pakaian adat kita membuat bali menjadi ajeg? Apakah penggunaan bahasa bali?. Bisa ya, bisa juga tidak. Kesenian Bali adalah salah satu produk budaya yang menjadi identitas khas daerah kita. Tetapi kalau kita mau mewujudkan ajeg bali mau tidak mau kita harus berpaling kepada filosopi dasar kehidupan masyarakat bali (begitu hebatnya leluhur kita bukan). Apakah itu?----- Tri Hita Karana------

Saya sependapat (mungkin lebih tepatnya saya mengikuti pendapatnya) dengan pemikiran seorang penulis di radar bali (jawa pos, tapi saya lupa nama penulisnya). Beliau mengatakan bahwa yang harus dilakukan oleh masyarakat bali untuk mencapai ajeg bali adalah kembali kepada Tri Hita Karana. Tri artinya 3, Hita artinya kebahagiaan, karana artinya penyebab. Jadi Tri Hita Karana adalah tiga hal yang menyebabkan kebahagiaan dalam kehidupan ini. Yaitu Parahyangan (hubungan harmonis dengan Tuhan), pawongan (hubungan harmonis dengan sesama), Palemahan (hubungan harmonis dengan lingkungan, alam sekitar kita termasuk tumbuhan dan hewan). Kehidupan tetua/leluhur kita terdahulu adalah mengacu pada konsep Tri Hita Karana ini. Kita ambil contoh dari sisi palemahan.Alam bali dahulu pastilah sangat indah karena tercipta hubungan yang harmonis antara manusia dengan alam. Leluhur kita menyadari bahwa merusak alam pada akhirnya akan membinasakan diri sendiri. Dan ini didukung oleh kehidupan masyarakat dahulu sebagai masyarakat agraris/pertanian (kalau dulu leluhur kita ga bersahabat dengan alam, semua hutan digunduli, ujung2nya kan banjir, ga bisa panen tuh….. ape kel daar). Memilih lahan untuk dijadikan perumahan pun ada aturannya. Termasuk bentuk rumah dan tata letaknya.Karena menghormati alam, maka leluhur kita tidak sembarangan menebang pohon. Kalau menebang pohon pun lalu segera ditanam penggantinya.

Kemajuan jaman memang tidak bisa ditolak. Perpindahan sistem agraris menjadi industri dan selanjutnya informasi dan teknologi mau tidak mau berdampak pada Bali. Perkembangan pariwisata mengharuskan dibangunnya sarana prasarana penunjang. Hotel, restaurant, dan segudang yang lain berdiri demi menikmati manisnya madu pariwisata. Tapi sayangnya kita tidak membangun semua itu dengan bijaksana. Kita tidak memikirkan efek negatif yang mungkin timbul dikemudian hari. Mata kita sudah terlanjur silau dengan gemerincing dolar. Dan sekarang kita dapat melihat akibatnya.

Banyak sekali lahan subur yang telah beralih fungsi menjadi hotel/villa. Tebing, bukit telah berubah menjadi lokasi berdirinya hunian wisata. Secara tidak langsung pepohonan hijau yang dulunya sangat banyak, mau tidak mau harus mengalah kepada beton dan sebangsanya. Lebih lucu lagi, pantai bisa dikavling oleh hotel sehingga banyak krama yang harus memindahkan lokasi untuk melasti (heheheheeh……..). Dampaknya? Ya jangan salahkan jika sering banjir, jangan salahkan jika populasi hewan tertentu dan juga tanaman tertentu menjadi berkurang, jangan salahkan juga jika udara semakin panas.

Tapi ada hal lain yang membuat saya agak kecewa (atau malah sebenarnya membuat tertawa). Karena begitu hebatnya bius pariwisata, pemerintah bali sepertinya agak melupakan sektor pertanian (padahal budaya bali yang luhung adalah produk dari masyarakat agraris). Sektor ini menjadi anak tiri beberapa dasawarsa terakhir. Selain tidak melindungi lahan pertanian (lahan subur kan kenyataannya sudah banyak beralih fungsi), menjadi petani sama saja menjadi miskin. Makanya sedikit sekali orang yang mau terjun di bidang pertanian. Anak2 muda lebih tertarik memburu dolar di kawasan pariwisata seperti kuta, nusa dua, ubud, dsb. Yang menurut saya lucu adalah: membludaknya wisatawan kan seharusnya berarti membludaknya kebutuhan akan bahan pangan/makanan. Berarti kan sektor pertanian menjadi salah satu penyokong utama pariwisata (selain peternakan tentunya). Eh, kok malah bisa2nya dianaktirikan dan akibatnya yang seperti terjadi sekarang, sebagian besar diimpor dari luar bali (karena budaya bali yang luhur lahir dari masyarakat agraris bukankah sepantasnya pertanian juga harus dijadikan salah satu tulang punggung perekonomian menuju bali yang ajeg?)

Lebih baik terlambat daripada tidak berubah sama sekali. Jangan rusak rumah kita sendiri. Stop pembangunan yang merusak alam kita. Bapak/ibu yang punya lahan subur, jangan terbuai rayuan investor yang mau membeli tanahnya ya. Jangan dong jual tanah trus beli mobil. Olah lahannya tuk menghasilkan mobil (heheheheh). Jangan kebanyakan metajen, judi dan miras. Kita harus bisa mandiri di daerah sendiri. Kita harus berkuasa di daerah yang kita cintai ini. Kalau kita tidak bisa berdikari secara ekonomi kok saya jadi pesimis kita bisa melestarikan budaya bali. Hanya orang bali yang punya soul/jiwa membuat budaya bali memiliki taksu. Bayangkan jika orang bali terdesak secara ekonomi, ujung2nya ntar semua lahan dijual deh (akibat kepepet), trus transmigrasi…… semakin sedikit orang bali di bali…. Dan tidak menutup kemungkinan akan menjadi seperti betawi (menjadi kaum marginal di jakarta). Kalau kita sebagai orang bali memang mencintai bali dan ingin bali tetap ada……kita tahu apa yang harus dilakukan.

*kok bahasannya malah melebar yah… dari ajeg bali kok malah menjadi harus merdeka di daerah sendiri. Malah bingung, hubungannya apa coba……

Rabu, 02 April 2008

It’s Time to Stop

Seorang teman pernah berucap “jangan pernah menyerah karena kita tidak tahu akan hari esok….” (mengutip dari sebuah percakapan dalam film yang ditontonnya). Sebuah kalimat yang sangat memotivasi untukku. Segala sesuatu memang harus diperjuangkan. Jangan pernah menyerah sebelum kamu memperjuangkannya.

Sampai kapan kita harus berjuang? Apakah sampai keinginan kita terpenuhi? Bagaimana jika ternyata tujuan kita pada akhirnya memang tidak akan pernah tergapai, apakah kita harus terus memaksa diri untuk sesuatu yang mustahil? Nothing is impossible…..begitu filosopi orang-orang dengan ide “gila” di kepalanya. Tapi karena merekalah kita bisa menikmati perjalanan udara, menerbangkan orang ke bulan, menciptakan alat komunikasi yang jamak kita pakai sekarang, dan masih sangat sangat banyak hal lain yang tercipta yang sebelumnya hanya beyond our imagination. Lalu aku bertanya apakah filosopi ini bisa diterapkan jika masuk ke domain hati/perasaan?

Tuk menggapai hati sesorang memang harus diperjuangkan. Tetapi yang lebih penting adalah mau memahami dan mengerti apa yang dia rasa. Secara naluriah kita bisa mengetahui apakah hatinya menyambut kita atau tidak. Kamu bisa mendengar bisikannya, dia hanya mengijinkanmu dalam area pertemanan atau dia merengkuhmu masuk ke relung hatinya. Kalau memang tidak dibukakan pintu hati bukankah perjuangan yang dilakukan bisa berujung pada luka? Maka berhentilah…..berjuanglah tuk hati yang lain.

Terkadang kebingungan muncul jika “bisikan” yang kita tangkap malah berada pada daerah abu-abu. Disatu sisi hati kita menangkap sinyal gelombang dengan frekuensi yang sama yang keluar dari hatinya. Tapi disisi lain yang kita “dengar” adalah bentakan : “cukup, jangan ganggu aku lagi”. Kembali terngiang ucapan temanku “kalau terlanjur suka, sikap si dia yang sebenarnya biasa-biasa aja bisa disalahartikan, kita menganggapnya dia suka juga kepada kita”.

Hehehehe, jangan-jangan selama ini aku memang ke-GR-an. Sikapnya yang baik malah aku artikan dia memberiku kesempatan tuk hangatkan hatinya (setelah dipikir2 dia memang selalu baik sama semua orang). Tampaknya memang selama ini masalahnya ada dalam diriku. Salah mengartikan kebaikan orang lain. Setidaknya menjadi pembelajaran bagiku sebelum aku terlanjur ngotot yang berujung pada melukai hatinya. May be it’s right time to stop…..