Kamis, 22 Mei 2008

Kepemimpinan tanpa Bendera

Oleh : Sri Sultan Hamengku Buwono X (Jawa Pos, 19 Mei 2008)

Jika saat ini ada orang bertanya ”Apa salah satu tindakan berani seorang pemimpin pada era seperti sekarang ini?” Saya pasti akan menjawab, ”Berani menentang saran penasihatnya!” Sebab, banyak penasihat yang tiba-tiba gamang menghadapi dinamika sosial, politik, dan ekonomi yang bergerak fluktuatif seperti sekarang.

Jika ada penasihat yang menyarankan pembubaran kelompok keagamaan, padahal mereka tidak melakukan ajakan bunuh diri, pemaksaan, dan kekerasan, saran itu harus ditentang.

Jika ada penasihat yang hanya mendorong impor produk “serealia” (biji-bijian seperti padi, gandum, kedelai, jagung, shorgum manis) dan tidak menyarankan gerakan penanaman kembali produk pangan nasional, dia tidak perlu didengar. Jika ada penasihat yang mendorong kenaikan harga BBM, tapi tidak menyarankan bahwa ada cara lain yang bisa ditempuh lebih dulu seperti minta potongan utang luar negeri atau penundaan cicilan, sarannya harus ditunda—juka tidak boleh disebut harus ditolak.

Saran-saran seperti itu muncul karena ada kecenderungan kita untuk mempunyai ingatan (memori) pendek. Kita mudah lupa bahwa kita adalah bangsa yang multikultur. Tekanan sosial, ekonomi, dan politik telah membuat kita gamang, mudah lupa, dan malas melakukan sintesis demi tercapainya keseimbangan baru yang sinergis. Karena itu, harus ada keberanianuntuk melakukan kontestasi terhadap saran-saran tersebut.

Realitas pluralisme Indonesiaselayaknya memang menyadarkan seorang pemimpin bahwa eksistensinya tidak didasarkan pada massa golongan dan bendera politik. Dia hadir karena tindakannya, bukan karena posisinya. Pendeknya, kepemimpinannya adalah tanpa bendera.

Untuk mencapai taraf kepemimpinan tanpa bendera itu, langkah utama yang harus dilakukan adalah keberanian untuk melakukan pembalikan cara pikir.

Selama ini, kita dikerangkeng oleh pemahaman bahwa Sumpah Palapa dari mahapatih gadjah mada adalah sesuatu tanpa cela. Padahal, pemahaman pluralisme seperti itu, yang sebenarnya juga berakar dari seloka Bhinneka Tunggal Ika yang ditulis mpu tantular, juga berarti penaklukan wilayah-wilayah otonom yang akhirnya menjelma menjadi Nusantara.

Cara pikir pluralisme model Sumpah Palapa itu harus digeser menjadi pemahaman pluralisme model Sumpah Pemuda. Berbeda dari Sumpah Palapa yang merupakan relitas penaklukan wilayah, Sumpah Pemuda 28 Oktober 1928 adalah penyatuan wilayah atas inisiatif dari bawah. Ada imajinasi yang dibangun dari bawah oleh kaum muda tentang sebuah bangsa yang bersatu dan berdaulat.

Pembalikan cara berpikir kedua yang harus dilakukan kepemimpinan nasional tanpa bendera adalah mendayagunakan pluralisme yang dimiliki bangsa dan negara sebagai koordinat paradigma pembangunan. Sejauh ini, paradigma pembangunan hanya bergerak pada variabel ekonomika semata, sehingga pertumbuhan ekonomi menjadi semacam “tujuan suci”. Pemahaman seperti ini harus dibalik, dalam hal ini aspek “keadilan” menjadi titik terpenting pembangunan.

Dalam konteks ini, kearifan lokal menajdi roh dari paradigma pembangunan nasional. Karena itu, otonomi daerah harus didorong secara bersama-sama untuk menjadi lebih baik, sehingga proses pembuatan keputusannya mendekati aspirasi masyarakat.

Pembalikan cara berpikir terakhir adalah seorang pemimpin yang tanpa bendera, tanpa massa golongan, harus mampu membangkitkan optimisme publik tentang perasaan berbangsa (nation). Selama ini, pemimpin hanya dituntut memenuhi kebutuhan rakyat yang lebih bersifat “fisik” (pangan, sandang, papan) dan nonfifik elementer seperti pendidikan dan kesehatan.

Padahal, dalam masyarakat pluralisme seperti Indonesia, pemimpin itu juga dituntut membangkitkan kebanggaan berbangsa (nation building). Dengan demikian, akan muncul negarawan-negarawan di setiap sektor. Ada negarawan, petani, buruh, nelayan, guru, pengusaha, dan lain-lain.

Adalah tugas kepemimpinan pemanggul pluralisme bangsa untuk secara konsisten melakukan aksi, bukan sekadar mengejar dan mempertahankan posisi. Aksi itu adalah tindakan yang dilandasi prinsip,”Kehilangan harta benda berarti tak kehilangan apa-apa, kehilangan nyawa berarti kehilangan sebagian, kehilangan kepercayaan berarti kehilangan segala-galanya”.

1 komentar:

Anonim mengatakan...

Pemimpin seperti apa? Semoga artikel ini bermanfaat……

Kepemimpinan Yang Jazzy : Sebuah Metafora

Kepemimpinan yang bertumpu pada daya kreasi rakyat atau bahkan kepemimpinan sebagai sebuah kolektif kesadaran rakyat untuk menggerakan perubahan


Berbeda dengan musik klasik, ada dirigen, partitur, pemain musik yang tertib di tempatnya masing, segudang pakem-pakem musik klasik, maka didalam musik jazz kebebasan, kreatifitas, keliaran, kejutan merupakan nafas dan jiwa musiknya. Ada saxophone, flute, drum, perkusi, bass gitar, piano yang masing-masing berdaulat penuh.

Disatu sisi ada keliaran, tapi segala keliaran tetapmenghasilkan harmoni yang asyik. Kebebasan dan keliaran tiap musisi, patuh pada satu kesepakatan, saling menghargai kebebasan dan keliaran masing-masingmusisi sekaligus menemukan harmoni dan mencapai tujuannya, yakni kepuasan diri musisinya dan kepuasan pendengarnya.

Jadi selain kebebasan juga ada semangat saling memberi ruang dan kebebasan, saling memberi kesempatan tiap musisi mengembangkan keliarannya (improvisasi) meraih performance terbaik. Keinginan saling mendukung, berdialog, bercumbu bukan saling mendominasi, memarginalisasikan dan mengabaikan.

Seringkali saat bermusik ada momen-momen ketika seorang musisi diberikan kesempatan untuk tampilkedepan untuk menampilkan performance sehebat-hebatnya, sedangkan musisi lain agakmenurunkan tensi permainannya.

Tapi anda tentunya tau gitar tetap gitar, tambur tetap tambur, piano tetap piano. Namun demikian dialog antar musisi dilakukan juga dengan cara musisi piano memainkan cengkok saxophone, musisi perkusi memainkan cengkok bass betot. OHOOOOOOOOO guyub dan elok nian.

Lepas dari jiwa musik jazz yang saya sampaikansebelumnya tetap saja ada juga yang 'memimpin', pusatgagasan dan inspirasi tentunya dengan kerelaan memberi tempat kepemimpinan dari semua musisi. Bisa dalam bentuk beberapa person/lembaga maupun kolektifitas.

Misalnya dalam grup Chakakan bahwa vocalisnya Chahakan adalah inspirator utama grup ini. Apa yang menarikdari vokalis Chahakan ini adalah dia yang menjadi inspirator, penulis lagu dan partitur dasar musiknya,selain itu improvisasi, keliaran dan kekuatan vokalnya menebarkan energi , menyetrum dan meledakkan potensi musisi pendukungnya.

Model kepemimpinannya bukan seperti dirigen dalam musik klasik yang menjaga kepatuhan dan disiplin tanpa reserve, tetapi lebih menjadi penjaga semangat (nilai-nilai, atau bahkan cita-cita kolektif), memberiruang bagi setiap musisi untuk pengayaan gagasan danproses yang dinamis. Baik ketika mematerialkan gagasan maupun ketika berproses di panggung atau di studio rekaman. Tidak memaksakan pola yang baku dan beku, tetapi sangat dinamis dan fleksibel.

Setiap penampilan mereka di panggung adalah penemuan cengkok-cengkok baru, nyaris sebenarnya setiap performance selalu baru. Tidak ada penampilan yang persis sama. Tetapi tetap mereka dipandu tujuan yang sama memuaskan kebutuhan masing-masing musisi dan pendengarnya,menggerakan dan merubah.

Yang menarik juga dari jazz ini adalah sifatnya yangterbuka, open mind, open heart. Waljinah, master penyanyi keroncong dengan lagu walang kekeknya, ataulagu bengawan solonya gesang, atau darah juang lagu perlawanan itu, ravi shankar dengan sitar, rebab dan spirit indianya, atau bahkan internasionale dan maju tak gentar, atau imaginenya john lennon, atau reportoar klasik bach, bahkan dangdut pun, bahkan lagu-lagu spiritual bisa diakomodir oleh musisi jazz dan jadi jazzy.

Itulah karakter kepemimpinan yang asyik, kepemimpinan yang berkarakter kepemimpinan spiritual, menjaga dan menyalakan spirit/semangat/ nilai-nilai/ garis perjuangan, menyeimbangkan dan mencapai harmoni musik.

Selain itu kepemimpinan ini harus bisa fleksibel dalam pengayaan pilihan-pilihan pendekatan, bisa menawarkannuansa keroncong, dangdut, gending, samba, regge,rock, gambus, pop, klasik dalam bermusik jazz. Ataumemberi peluang atau kesempatan satu musisi atau alat musik leading, maju kedepan dan yang lainnyamemperkaya di latar belakang. Lepas dari itu bukan berarti saya lebih mencintai jazz, dibanding klasik, new age atau dangdut, tetapiini lebih kepada menemukan analogi dan metafora.

Salam hangat